Sabtu, 23 Maret 2013

Larasati


Kau duduk di sampingku. Harum tubuhmu menyelusup. Jantung berdegup semakin cepat. Aku salah tingkah. Hembusan nafas terasa lebih berat, di dedaun angin menari semakin lincah. Perlahan bahagia merekah. Mataku menatap awan senja yang paling jauh. Berharap perasaan canggung terbang bersamanya, jauh.

"Sepertinya hujan akan lebat?" katamu. Udara semakin dingin. Kau tutupi kepala dengan kuncung switer birumu, lalu menatapku sejenak. Pura-pura tak mengindahkanmu, pandanganku tetap dijaga tetap sejurus. Kembali kau tertunduk, memainkan telunjuk lancip, mecongkel-congkel sisa permen karet yang menempel di tasmu.  

Ku tengok dan ku tatap wajahmu. Dari pinggir, kamu terlihat lebih cantik. Hidung lebih bangir, bibir bawah yang sedikit lebih tebal dari bibir atas ditopang dagu yang lancip. Sempurna. Geletar hebat menggoyang segala urat jantungku. Aku hampir hilang kendali untuk memelukmu dan mengatakan segala rasa yang sesungguhnya merajai jiwaku. Satu pikiran meyakini kamu takkan menolak dan marah. Bahkan sepertinya hatimu menginginkan hal itu. Dan kamu kecewa karena aku tidak melakukannya. Tapi pikiran yang lain (pikiran yang aku menurutinya) dengan patriotik mengingatkan bahwa anggapan kau juga mencitaiku, adalah pikiran keliru... 

Kau bangkit dan beranjak, pergi meninggalkanku. Seperti tarian sufi, dedaun meliuk-liuk dalam puji-pujian cinta jiwa yang papa. Angin bergemuruh. Lebat dan keras hujan menghujam tanah. Aku pun ingin bangkit dan mengejarmu. Aku ingin memegang tanganmu dan menggenggamnya saat kau akan bangkit. Aku ingin.... Ah. Pikiranku memeluk erat rasa cintaku yang beku dan menggigil. Tubuhku tak bergeming. kau pun berlalu. Cintaku ternyata tak mampu melampaui ketakutanku.


                                                                          ***

Kembali senja dicerca hujan lebat, langit kelam. Angin mengoyak segala rasa menjadi gundah. 

Banyak hal yang membuatku takut. Ketakutan yang selalu menjadi pertimbangan saat aku mau mengungkapkan rasa cintaku padamu. Aku hanya anak pembantu di keluargamu. Aku sekolah karena kebaikan kakak lelakimu yang sudah berhasil di kota. Dengan kebaikannya aku disekolahkan bersamamu, sekaligus untuk menjagamu. 

"Jaga baik-baik Larasati ya, Di..." kata-kata kakamu itu menjadi undang-undang setiap langkahku dalam menghadapimu, menyikapi segala sikapmu. Dan, emh... yang paling aku takutkan adalah aku salah mengartikan sikapmu, manjamu atau  cemberutmu kala aku dekat sama temen-temen perempuan. Padahal sungguh, lubuk hatiku sangat menginginkan hal itu cemburumu.  

Hujan terus bergemuruh, angin bergulung-gulung, mengayun-ayun gubuk yang ngungun

Seminggu kau menghidariku. Kau diamkan aku. Kalaupun kebetulan kita disergap kebersamaan kau bersikap acuh, bahkan kau menunjukkan keengganan yang luar biasa pada situasi seperti itu. Mungkin kau kecewa dengan sikapku waktu itu. Tapi,  kalau saja kau... kau tau pikiran, perasaan dan hal yang ingin aku lakukan terhadapmu, mungkin kau akan mengerti dan tak akan menyiksaku dengan sikap diam dan acuhmu. 

Buk! Pukulan medarat di wajah Larasati. Ia hanya menggigit bibir. Tak menjerit. Darah meleleh di sudut bibir.

Kau pasti tak tau. Hari sabtu, waktu kau latihan upacara. Sebenarnya aku tak langsung pulang. Diam di kelas, dari jendela aku mengawasimu, menatap wajahmu. Hampir aku kehilangan kesabaran saat Si Aldi, KM kelasmu itu terus menggodamu. Tadinya aku mau menemuimu setelah selesai latihan dan pulang bareng. Aku ingin menjelaskan kesalahfahaman ini. 

"Aku... Pulang, di jem-put..."  

Air mata Larasati, meskti tak deras terus mengalir melewati hidungnya yang bangir, membasahi switer biru. Baju seragam teronggok di sudut, di sebelahnya tas warana coklat muda dengan sisa permen. Basah dan menggigil ditusuk angin dan air hujan yang meruncing dari sela anyaman bilik gubuk pinggir hutan. Hujan masih belum menunjukkan akan segera berhenti. Langit masih terbatuk-batuk. Awan masih hitam. Senja perlahan beranjak. Malam segera tiba.

Kenapa kau paksa aku untuk melakukan hal keji seperti ini terhadapmu? Kenapa kau mengambil keputusan yang serampangan? Kenapa kau tak terus terang? Kenapa? Kenapa kau jadian sama Si Aldi? Kenapa kau tak pernah membaca kemurunganku? Kenapa kau mau diajak ke Puncak? Kenapa kau serahkan begitu saja kehormatanmu sama dia? Kenapa? Kenapa...? 

Larasati tak bergeming. Selepas magrib, tinggal gerimis yang tersisa. Di langit kilatan cahaya sesekali membelah pekat yang menyelubungi malam. Segala menjadi bayang hitam.  Wajah Larasati pucat pasi. Darah hitam pekat menetes dari lubang hidung. Tapak cekikan di lehernya menghitaman, kelam. Tali sepatu mengikat kaki dan tangannya. Tubuh telanjangnya meringkuk.

Maafkan aku, Larasati...

Segala urat tubuhnya mengencang. Mengerang, satu tarikan nafas panjang, diikuti gelutuk batuk, busa dan darah menyembur. Wajahnya membiru beku. Tangannya yang mengepal, terkulai. Sebuah botol serangga tergolek.










Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Arsip Blog