Minggu, 05 Februari 2012

Dia

Seminggu terakhir ini aku mengingat Dia. Dia yang dua tahun lalu meninggalkanku. Dia, yang dua tahun sebelumnya selalu mengisi hari-hariku, tangis dan tawa.

Setahun, aku mengisi gelas-gelas kesedihan, yang berjejer rapi di setiap detak waktu--dengan tangisan.Waktu terasa begitu panjang dan menyiksa. Seperti dalam ruang-ruang penjara, temaram, lembab dan beraroma duka. Aku terpojok di sudut kenangan yang dengan berkuasanya keluar-masuk, menghardik, dan mencemooh kesendirianku.Aku tak kuasa melarikan diri dari dia.

Suatu sore, di bulan Desember yang basah, aku duduk di tepi empang, belakang rumah. Di bawah pohon randu--hijau dan menjulang--bunganya berjatuhan, putih menghiasi permukaan. Aku tanpa malu tersedu dan mengeluh segala kepedihanku kepadanya. Angin yang sejuk mengembuskan aroma tanah yang menjelma kuku tajam dari tangan dia yang perlahan menancap di dadaku, dengan tekanan yang konstan terus menulusup masuk, merobek jantungku.

Suatu senja, dalam perjalan pulang ke rumahnya--setelah seharian aku menghiasi kebersamaan dengan dia dengan tawa dan mesra. Motor bebek hitam--si Brangbrang--aku menyebutannya, menggendongku dan dia perlahan, melintasi sawah yang baru di ditandur. "Aku sangat suka dengan aroma tanah sawah", kata dia.
Tangannya melingkar dipinggang, dagu dia di pundakku. Aroma nafas dia dan aroma tanah sawah berdesakkan di nafasku. Begit khas. "Aku juga". Aku tersenyum. Dia memjamkan mata, sepertinya.

Aroma sawah yang khas, dan aroma nafasnya, di sutu sore bulan Desember itu, kembali berdesakkan di nafasku, aku memejamkan mata, bulir-bulir bening, hangat keluar dari sudut mataku yang merah, mengalir menyapu setiap inci pipiku."Tuhan ambil saja nafasku!"

Aku begitu sayang dia. Bagaimana aku bisa hidup tanpa dia. Dia yang selalu menjadi motifasiku selama ini, menjalani segala aktifitasku. Dengan semangat, aku bekerja semata hanya untuk mempersiapkan segala sesuatunya untuk hidup dengan dia, menyatu dalam sebuah bangunan rumah tangga yang sering aku dan dia rencanakan, hampir setiap kesempatan. Kini dia tak bersamasaku lagi. Pergi bekerja ke kota, dan aku meninggalkan pekerjaanku karena dia telah mencuri pikiran dan hatiku. Harihariku tanpa dia, kelam, memanjang dan hitam. Zona nyamanku dan menjalani kesedihan ini begitu terbatas--kamar lembab dan tepi empang yang basah. Begitu dan terus begitu, setahun penuh.


Menginjak tahun kedua. Di suatu malam yang belum begitu tua. Saat hening menitipkan jiwanya pada sayap-sayap jangkrik yang meringkik dan jarum detik jam yang menggema di udara kamarku.Ketika nafas-nafas panjangku mengiring kedatangan dan kepergian segalala sesuatunya tentang Dia. Utusan Tuhan datang mengetuk pintu.

Seorang sahabat lama, begitu lama, bahkan aku tak pernah mengingatnya selama ini. Teman sewaktu SMP--12 tahun yang lalu datang mengunjungiku. Dia (temanku), kini telah menjadi seorang intel tentara. Aku menerimanya dengan tangan terbuka dan berusaha menyembunyikan segala duka. Tak lama malam itu, dia (temanku) pulang dengan sepenggal janji, besok hari, dia (temanku) akan datang lagi. Mengajakku menelusuri kenangan keremajaan dan sedikit pesta.

Tiga hari yang berbeda. Tiga hari yang penuh pesta. Aku sedikit terhibur dan melupakan Dia. Temanku (Dia yang diutus Tuhan untuk menyelamatkan jiwaku) telah kembali ke kota melanjutkan kehidupannya. Aku duduk di beranda senja yang tetap basah di tepi empang. Bungabunga pohon randu betebaran di permukaan. Aku menatap diriku, menatap jiwaku, menatap Dia dalam kenangan dan menatap jalanku yang sekiranya akan ku tempuh. "Haruskah aku seperti ini?"

Udara Februari yang hangat. Setelah  melewati Pergantian Tahun yang berat, yang kuhabiskan seluruh malam dan hari pertama dengan botol-botol beralkohol, aku melangkah kembali ke masa depan. Meski hati penuh dengan balutan, aku kembali bekerja. Karena hidup terus berjalan dan waktu tak akan pernah menunggu, pikirku.

Tempat kerja baru, lingkungan kerja baru, udara yang baru pula. Aku kembali melemparkan senyum pada matahari yang hangat. Langkah  sedikit bertambah cepat, aku mencoba menjalin hubungan dengan teman sekerja.

Sempat kami melawati malam minggu bersama. Selepas magrib, hujan melepaskan genggamannya. Kami berjalan berpelukan tangan. Ada rasa damai masuk bersama udara sejuk menyelusup, perlahan, mengisi setiap petak ruang hatiku.

Di sudut sebuah tempat makan, yang romantis kami bercenkrama, hangat. Jemari kami saling menggenggam.
Tibatiba aku teringat dia.Ku lepas jemariku yang menggenggam jemari kekasih baruku. . Udara sejuk yang menyelusup dan menyebar di kalbuku tak mampu memenuhi seluruhnya. Ada satu petak ruang hatiku--yang rupanya dia berada di situ. Udara menjadi terasa hampa, kekasihku baruku ku antarkan pulang segera. Malam minggu yang baru separuh perjalanan berakhir di sudut kamar. Aku kembali terkapar.

Hubungan dengan kekasih baruku berakhir tanpa kepastian. Aku meninggalkan pekerjaan baruku. Tapi untungnya ingatan akan dia tak terus berlanjut menindasku. Aku mampu menguasai diri.

Harihari berikutnya aku mengisinya dengan lebih fleksibel, ringan dan bersahaja. Aku bekerja prilen di sebuah perusahan sebagai marketing. Dengan pekerjaan itu aku terus bertemu banyak orang dengan berbagai macam karakter, kondisi dan keadaan. Terhibur aku di buatnya.

Harihari yang ringan, memanjang dengan selubung warna cerah kujalani. Bulan ke dua puluh setelah dia meninggalkanku, aku telah melupakan dia, aku bertemu dengan seorang peri baik hati. Hubungan ini berjalan dengan penuh kehangatan dan mesra. Aku selalu meluangkan waktu di hari minggu dan hari libur untuk jalan bersamanya.

Semakin hari kebaikan, perhatian dan pengertian kekasihku semakin membuatku meneguhkan hati untuk menjadikannya pendampingku dalam perahu rumah tangga. Kami sering berangan-angan tentang kehidupan rumah tengga itu, saat bersama.

Malam minggu kemarin, Malam yang cerah. Bintang bertebaran di langit biru kehitaman, berkedip manja. Di ufuk barat, seperti sabit bulan mengintip ingin menyaksikan hatiku yang longgar dan berbunga. Aku dan kekasihku berjalanjalan di alunalun kota. Bergandengan sambil bercengkrama. Serasa aku berdua saja dengannya.

Ku genggam  mesra jemari kekasihku dan kubisikan sebait kata yang ringan dan gembira ku ucap, "Aku ingin menikah denganmu"

Angin tibatiba saja terasa berat ku hela. Kekasihku memeluk, terisak bahagia, dan membisikannya dengan mesra, "Aku siap menjadi istrimu, Kang". Sekali lagi, tiba-tiba angin terasa berat ku hela. Ada yang mengganjal dalam hatiku, begitu dalam, dan resah.


Dia datang lagi, begitu tiba-tiba setelah lim bulan penuh aku melupakan dia, seluruhnya. Kini, saat aku telah menjalin hubungan dengan yang lain, di momen yang begitu sakral mengikat talitali niat hidup bersama, dia dengan wajah yang muram dan terbuang, datang tak di duga. Dia kembali menghembuskan udara lembab dan merana.

Kulepas perlahan dan hatihati lingkar tangan, pelukan kekasihku.dia tertunduk dan terisak bahagia atas apa yang kuucapkan, aku tertunduk dan terisak sedih dan sedikit sesal karena tlah mengucapkannya.Tak banyak yang ku bincangkan setelah itu, sepanjang perjalanan menuju rumahnya. Pulang.

Seminggu terakhir ini aku mengingat Dia. Dia yang dua tahun ini meninggalkanku. Dia, yang dua tahun sebelumnya selalu mengisi hari-hariku, tangis dan tawa. Seminggu ini aku tak menemui kekasihku, karena harihariku kembali terisi oleh dia, yang setiap waktu datang dan menyudutkanku di kamar yang lembab, beraroma duka.

Kini harihariku di selubungin rasa bersalah terhadap dia, perasaan yang tak seharusnya ada, karena memang aku tak bersalah. Bukankah dia yang meninggalkanku, dulu, dua tahun yang lalu? Harihari yang berat memanjang terselubung awan hitam bulan Juli, akhir musim penghujan.

Akankah kembali Tuhan mengutus seseorang untuk menolongku kali ini. Atau kah dia yang akan kembali?

1 komentar:

  1. andai dia hadir kembali mungkin dia adalah takdir mu..tapi jangan menyerah pada takdir rasakan hati nurani mu adakah kamu masih perlukan dia?...

    BalasHapus

Arsip Blog